Oleh: Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag. (Ahmad Inung)
(Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Kemenag RI)
Dilansir dari laman website arina.id
Di Universitas Stanford, di musim panas tahun 1892, ada seorang mahasiswa yang sedang kebingungan membayar uang kuliah. Dia seorang yatim, juga piatu. Mahasiswa berusia 18 tahun ini tidak memiliki siapa pun untuk bisa dimintai bantuan.
Dalam situasi sulit, mahasiswa kelahiran West Branch, Lowa ini tidak memutuskan untuk meninggalkan bangku kuliah. Ia tegak tanpa meratap-ratap bahwa ia gagal dengan alasan yatim piatu yang miskin. Pun dia tidak meledakkan amarahnya sambil berteriak-teriak menyalahkan kanan-kiri.
Bersama seorang kawan, mahasiswa jurusan teknik mesin yang kemudian beralih ke geologi itu memutuskan untuk mencari uang dengan cara membuat pertunjukan musik di kampusnya. Dia menghubungi seorang pianis besar, Ignacy Jan Paderewski untuk tampil dalam pertunjukan tersebut. Manajer sang pianis mematok bayaran $2,000. Mereka bersepakat. Kedua remaja laki-laki itu mulai bekerja mempersiapkan segala kebutuhan konser.
Akhirnya, pertunjukan musik itu pun terlaksana. Sayangnya, tiket yang terjual tidak sesuai ekspektasi. Mereka hanya mampu mengumpulkan uang sebanyak $1,600. Dengan hati sedih dan kecewa, mereka menemui Paderewski dan menjelaskan situasi yang mereka hadapi. Mereka serahkan seluruh uang yang didapat, plus menyodorkan cek senilai $400 sambil berjanji akan berusaha secepat mungkin agar cek tersebut bisa segera diuangkan.
“Tidak, ini tidak bisa diterima,” kata Paderewski. Dia merobek cek dan mengembalikan uang $1,600 kepada dua remaja yang tengah dilanda kekecewaan itu. Kepada keduanya, Paderewski berkata, “Ini uang $1,600 gunakan untuk menutup seluruh biaya yang telah kamu keluarkan. Bayarlah uang kuliahmu dengan uang itu. Baru sisanya berikan padaku.” Kedua remaja itu terperanjat, kaget, dan mengucapkan terima kasih dengan seluruh semesta batinnya.
Sejarah kemudian mencatat bahwa sang pianis itu pada akhirnya menjadi Perdana Menteri sekaligus deputi Menteri Luar Negeri Polandia 1919-1920.
Pada saat Perang Dunia I, Polandia mengalami kehancuran yang luar biasa. Ada 1,5 juta penduduk kelaparan, sedang negara tidak memiliki uang untuk menyediakan makanan. Paderewski minta bantuan pada US Food and Relief Administration yang dipimpin oleh Herbert Hoover. Permohonan diterima. Hoover menyetujui permintaan tersebut dan segera mengirim puluhan ton bantuan makanan ke rakyat Polandia yang kelaparan.
Setelah Polandia berhasil mengatasi bencana kelaparan, Padewerski berangkat menuju Amerika, hendak mengucapkan terima kasih langsung kepada Hoover.
Ketika Paderewski bertemu Hoover dan menyapaikan terima kasih, Hoover langsung memotongnya dan berkata, “Tuan Perdana Menteri tidak perlu mengucapkan terima kasih ke saya. Mungkin Anda telah lupa, beberapa tahun lalu, Anda telah menolong dua orang mahasiswa sehingga kedua mahasiswa itu berhasil menyelesaikan kuliahnya. Saya adalah salah satu dari dua mahasiswa itu.” Herbert Hoover sendiri pada akhirnya terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat masa bakti 1929-1923.
Dunia ini adalah sebuah tempat yang mengagumkan. Dunia ini bukanlah tempat di mana setiap kejadian hanyalah peristiwa-peristiwa tunggal yang tidak saling terkait. Dunia ini hanyalah sebuah planet kecil yang keberadaannya menjadi bagian dari sistem semesta yang keluasannya tak pernah bisa dibayangkan.
Setiap peristiwa di planet kecil kita ini sesungguhnya saling terkait melalui sistem hubung yang sangat lembut sekaligus rumit. Kita sering tidak merasakah kesaling-kaitan karena keterbatasan kita dalam melihat dan memahami hubungan sebab akibat. Pengetahuan kita tentang relasi sistem semesta ini sangat sangat terbatas dan linear.
Alam ini mengatur keseimbangannya melalui sebuah hukum, bahwa tidak ada sesuatu pun yang hidup untuk dirinya sendiri. Sungai tidak pernah meminum airnya sendiri. Pohon tidak pernah memakan buahnya sendiri. Matahari tidak pernah menikmati panas dan sinarnya sendiri. Bunga tidak pernah menyebarkan harum untuk dibauinya sendiri.
Hidup untuk orang lain adalah rahasia terdalam dari kehidupan. Sayangnya, tidak banyak orang yang memahami bahwa rahasia terdalam kehidupan adalah memberi pada orang lain. Bahkan jika kita memberi sesuatu atau menolong orang lain, tidak jarang sebetulnya untuk mengkamuflase keserakahan kita. Kita membantu orang Rp1.000 sambil berharap kita mendapatkan balikan sepuluh kali lipatnya. Jadi, sebetulnya kita ini si dermawan ataukah si rakus?
Inilah yang disebut Ikhlas. Orang-orang tua kita mudah sekali menjelaskan ikhlas dalam berbagi dengan orang lain. Orang yang menolong orang lain dengan Ikhlas itu seperti orang yang buang air besar. Dia mengeluarkan sesuatu dari dirinya tanpa melihat kembali apa yang telah keluar dari dirinya dan tidak pernah berharap lagi barang yang telah dikeluarkan akan kembali lagi. Bahwa kemudian dengan buang air besar seseorang mendapat kebaikan berupa kesehatan, itu merupakan hukum alam atau sunnatullah. Tapi biarlah yang telah keluar dari diri kita memenuhi tugas alamnya. Tugas kita hanya memberi apa yang bisa kita beri. Titik.
Inilah rahasis kehidupan. Memberi seseorang bukan karena untuk mendapatkan kembalian yang lebih besar, tapi karena begitulah kehidupan ini ditata oleh Tuhan.